Minggu, 25 Agustus 2013

The Book : The Islamic Invasion

Buku : THE ISLAMIC INVASION



Belakangan ini banyak pertanyaan diajukan mengenai beredarnya fotokopi buku Robert Morey: ‘THE ISLAMIC INVASION, Confronting the World’s Fastest Growing Religion’ (Harvest House Publishers, Eugene, 1992). Pertanyaan juga diajukan oleh saudara/i dari kalangan Islam, karena itu rasanya perlu dibahas kembali di sini agar kita tidak diombang-ambingkan oleh buku yang bisa memanaskan situasi.

Dari judul buku itu sudah bisa diraba bagaimana isi buku itu, yaitu membuka konfrontasi menghadapi agama Islam yang disebutnya sebagai agama yang berkembang paling pesat di dunia dan sedang menyerbu negara-negara yang secara tradisional disebut Kristen seperti di Inggeris, negara-negara Eropah, dan masakini di Amerika Serikat. (Sebenarnya di Indonesia sebaliknyalah yang terjadi berbeda dengan negara-negara Barat yang telah mengalami ‘post christian era’).

Buku itu memberi kesan kuat adanya anggapan seakan-akan Barat = Kristen dan Arab = Islam, dan Islam = kultur Arab (h.20). Pemikiran yang bersifat stereotip terlihat dari beberapa kesimpulan Morey, yaitu: bahwa ‘Arab sebagai keturunan Abraham melalui Ismael’ adalah sebuah mitos dan rasisme Arab (h.23); Islam = tradisi kekerasan (h.38); Allah adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab (h.48) atau tepatnya Moon God (h.50). Kemudian Allah dibandingkan dengan ‘the God of the Bible’ (h.57), dan bahwa ‘Allah’ baru digunakan dalam Alkitab berbahasa Arab pada abad-9 setelah Alkitab selesai ditulis karena pada masa itu kekuatan Arab sudah mendominasi kawasan Timur Tengah sehingga para penerjemah Alkitab Arab tunduk pada tekanan politik dan agama dan menggunakan nama ‘Allah’ dalam Alkitab Arab (h.64).

Sayang sekali Morey sekalipun mengutip banyak sumber kurang menulis buku itu dengan argumen ilmiah tetapi menulisnya secara singkat/fragmentaris dan banyak komentar tentang Islam diambil dari pembicaraan dengan para amatir seperti supir taxi, pendengar ceramah atau siaran TV-nya. Buku teologia Kristen dan Arab yang berlawanan dengan teorinya praktis tidak dibahas.

Superioritas Barat atas Arab/Islam melekat kuat dalam diri Morey sehingga dalam tulisannya ia mengagungkan kultur Barat dan melecehkan kultur Arab. Ia lupa bahwa Arab sudah lama maju dan menerjemahkan karya filsafat Yunani yang membuka mata Barat melalui interaksi Perang Salib dimana naskah itu dikenal kembali oleh Eropah, bahwa Barat menggunakan angka yang dikembangkan orang Arab, dan banyak juga orang Arab yang beragama Kristen. Sayang Morey juga tidak membahas mengapa gereja Roma Katolik begitu sarat kultur Roma abad pertengahan (misalnya dengan hadirnya kurban misa, relikwi, patung, saturnalia) yang membungkus ibadat Kristen. Adanya masa kegelapan Eropah tentu tidak bisa dijadikan kesimpulan umum bahwa ‘agama Kristen itu gelap’, demikian juga kultur masa jahiliah tentu tidak bisa dijadikan kesimpulan umum bahwa agama ‘Islam’ itu identik dengan budaya jahiliah sekalipun ada pengaruhnya, padahal sumber Islam sendiri berbicara mengenai diimaninya kembali kepercayaan Hanif Abraham menggantikan dominasi jahiliah.

Bahwa dalam sejarahnya agama Islam memiliki kultur kekerasan, itu tidak membuktikan bahwa agama Islam itu agama kekerasan, sebaliknya walau Alkitab Kristen berbicara mengenai kasih (PB) itu tidak menjamin bahwa kultur Kristen itu kasih. Indonesia menjadi mayoritas beragama Islam karena datangnya orang-orang Sufi Islam yang datang dengan damai sehingga menarik banyak orang, ini berbeda dengan kedatangan misi Kristen yang seiring dengan kolonialisme yang membawa senjata. Sejarah kultus Kristen tidak sepi kekerasan, sejak perebutan jabatan keUskupan/kePausan sampai perang Salib kita mengenal kekerasan dalam kultur Barat Kristen, demikian juga sejarah kontra Reformasi dengan inkwisisi dan perang hugenotnya menunjukkan bahwa kultur Barat Kristen bisa sadis juga. Kultur Barat Kristen tidak sepi kekerasan seperti para radikal dan teroris beragama Kristen yang melakukan terorisme di Amerika Latin, IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, dan Karen di Birma. Perang Irak sekarang menunjukkan fakta aktual kenyataan kultur kristen.

Sentimen anti Arab/Islam yang tebal membuat Morey kehilangan obyektivitasnya dan menganggap bahwa ‘bangsa Arab’ itu bukan keturunan Abraham dan sekedar mitos dan rasisme Arab. Sayang Morey menutup mata terhadap buku teologi klasik yang menyebutkan, bahwa: “orang Arab mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10:24-29), Abraham dari Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16). . . . Keturunan Yoktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29).” (Interpreters Dictionary of the Bible, vol.I, h.182. Baca juga The New Bible Dictionary, h.54; Cyrill Glasse: Ensiklopedia Islam, h.49-50; dan Ensyclopaedia Britannica di bawah kata ‘Arabia.’). Dari jalur keturunan ini kita mengerti bagaimana ‘Allah’ merupakan perkembangan dialek Arab untuk menyebut ‘El Semitik’.
Tulisan Morey bahwa Allah adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab atau Moon God, didasarkan anggapan bahwa Arab adalah clan yang terisolir, dan mengabaikan bahwa kata ‘Arab’ sendiri berarti ‘nomad’ (pengelana) sehingga hubungan dengan negara tetangga sudah lama terjadi baik dengan Babel, Mesir, maupun Palestina yang lebih dekat, demikian juga diabaikan bahwa Arab itu punya akar sejarah yang adalah Abrahamik, Hebraic, dan Semitic dimana nama Sesembahan yang pertama disebut El/Elohim dalam dialek Ibrani, Alaha dalam dialek Aram Siria (Peshita) dan Allah dalam dialek Arab. Ini ditolak demi menyudutkan masa jahiliah sebagai dasar agama Islam. Suku Ibrahimiyyah dan Ishmaliyyah masih memiliki orang ‘hanif’ yang mempercayai agama ‘monotheisme Abraham’ dan tidak terpengaruh penyembahan berhala masa jahiliah. Membesarkan pengaruh dewa Babel pada kultur Arab tetapi memutus hubungan dengan nenek moyangnya jelas tidak jujur.

Morey menyebut lambang ‘bulan sabit’ menunjuk pada ‘moon God’ (h.51). Faktanya Sumber Islam menyebut bahwa Hubal (dewa bulan) dibawa dari Siria ke Arab pada zaman jahiliah, dan lambang bulan sabit baru muncul di Turki (bukan Arab) 800 tahun kemudian oleh penguasa Otoman yang mengadopsinya dari Byzantium. Di Byzantium bulan sabit merupakan lambang kemenangan karena kemunculannya yang tiba-tiba menyelamatkan Byzantium dari serangan mendadak musuh di malam gelap. Lambang ini kemudian digunakan pada bendera negara, diletakkan di atas kubah mesjid, dan dijadikan lambang ‘red crescent’ di Turki dan ditiru beberapa negara Islam lainnya. Bagi Islam, bulan sabit (hilal) adalah petunjuk ritme waktu. Muhammad mengatakan: “Wahai bulan sabit yang indah dan bulan sabit petunjuk, keyakinanku teguh kepada Dia yang telah menciptakanmu.” (Glasse: Ensiklopedia Islam, h.64).

Sejarah Ibrani sendiri tidak lepas dari kemerosotan agama, Elohim bahkan Yahweh pernah diidentikkan sebagai ‘anak lembu emas’ oleh Harun (Keluaran 32:1-5) dan dipopulerkan kembali oleh Yerobeam (I Raja 12:28). Tentu kemerosotan ini tidak perlu menghasilkan kesimpulan bahwa Yahweh berasal dari kultus ‘lembu’ Babel atau Mesir kuno. Kalau mau diperpanjang ceritanya, ada juga teori diajukan orang bahwa El bahkan Yahweh memiliki asal dewa kafir kuno Mesopotamia. Ingat kultur Ibrani baru berkembang seribu tahun sesudah kultur Babel dan Mesir berkembang.

Morey menyebut bahwa “Bila Allah Alquran = God of the Bible, maka konsep mengenai God harus sama setiap butirnya.” Ini menunjukkan pencampur-adukkan istilah Allah sebagai ‘nama oknum’ dan ‘pengajaran mengenai Allah’ itu. Kalau Allah Al-Quran dibandingkan dengan God Alkitab Inggeris tentu beda aqidahnya, tetapi kita harus membandingkan Allah Al-Quran dan Allah Al-kitab bahasa Arab, disitu kita akan melihat Allah yang sama (semitik, hebraik dan abrahamik) dibalik doktrin/pengajaran/aqidah yang berbeda, demikian juga Allah PL dan PB dapat juga dibandingkan yang jelas menunjukkan perbedaan yang mencolok. Ini tentu tidak otomatis membuktikan bahwa ‘Allah PB’ tidak sama dengan ‘Allah PL’ bukan?

Pandangan yang menyebut bahwa kata ‘Allah’ dalam Alkitab Arab baru ditulis pada abad-9 karena tekanan Arab Islam tidaklah akurat, karena sebelum masa jahiliah, orang Kristen & Yahudi Arab, dan Arab Hanif sudah menggunakan istilah ‘Allah’ (El di Timur Tengah disebut dalam berbagai dialek sebagai Il, Ilu, Ilum, Ila, Ilah, Alaha, El, Elah, dll.) dan juga ditulis dalam inskripsi, dan di Al-Quran sendiri diakui bahwa Orang Yahudi & Kristen sama halnya orang Islam juga menyebut nama ‘Allah’ yang sama (QS.2:136;12:106,108). Al-Quran ditulis pada abad ke-7.

Morey beberapa kali mengutip Ensyclopaedia Britannica, mestinya ia juga mengutip: “Allah. . . . The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.” (di bawah kata ‘Allah’).

Perlu disadari bahwa ketiga agama Samawi (Semitik: Yahudi, Kristen, Islam) menyembah oknum sesembahan ‘El/Allah Abraham’ (Idul Adha adalah salah satu ritual Islam yang penting), namun ini tidak berarti bahwa konsep/ajaran/aqidah ketiganya mengenai ‘El/Allah’ itu sama. Agama Yahudi memiliki konsep mengenai ‘El/Allah’ itu berdasarkan wahyu & perjanjian yang mereka terima melalui Abraham, Ishak, & Yakub yang tercakup dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kristen memiliki konsep mengenai ‘El/Allah’ sesuai keyakinan Yahudi, dan juga penggenapannya dalam Tuhan Yesus Kristus yang tercakup dalam Alkitab Perjanjian Baru (Yahudi menolak PB), sedangkan agama Islam mempercayai wahyu sampai perjanjian kepada Abraham ditambah tradisi melalui Ismael dan wahyu kepada Muhammad yang tercakup dalam Alquran. Baik agama Yahudi maupun Kristen menolak klaim Wahyu ini.

Umat Kristen di Indonesia jangan sampai terjebak sentimen rasisme yang ditaburkan oleh Robert Morey, seorang fundamentalis kristen Amerika, dalam bukunya ‘The Islamic Invasions,’ tetapi justru kesamaan nama sesembahan Islam dan Kristen bisa menjadi titik tolak yang baik untuk dialog, bukan untuk menyamakan keduanya, tetapi demi kehidupan bersama yang rukun di Indonesia, sekaligus kesempatan kesaksian mengenai keunikan ‘Allah Abraham itu yang digenapi dalam Tuhan Yesus Kristus’ menurut keyakinan Kristiani.

Akhirnya, misi Kristiani bukanlah untuk melecehkan ‘nama Allah’ Islam dan pengajarannya (Yang menunjukkan kekurang-tahuan bahasawi, dan bisa menjadi boomerang bagi Kristen Arab & Indonesia. Sekarang ada empat versi Alkitab dalam bahasa Arab dan semuanya menggunakan nama Allah untuk menyebut El PL dan Theos PB, dan selama 4 abad Alkitab Indonesia juga menggunakan istilah yang sama karena sudah menjadi kosakata Indonesia), tetapi bagaimana kita mengabarkan ‘El/Allah yang sama’ itu yang menyatakan diri dalam Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan perjanjian yang diturunkan melalui Abraham, Ishak, Yakub dan yang digenapi dalam Yesus, seperti yang diajarkan dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Itulah kesaksian Kristiani yang tepat di dunia Islam.


Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry http://www.yabina.org

Disalin dari : http://www.yabina.org/layout2.htm


------------------------


THE ISLAMIC INVASION



Tanggal 6 Maret 2005, PGI Setempat Kota Batu mengundang YABINA untuk memberikan ceramah pembinaan iman untuk gereja-gereja di kota Batu dengan tema ‘Nama Allah.’ Ternyata di kota Batu telah beredar buku karangan Robert Morey: ‘THE ISLAMIC INVASION, Confronting the World’s Fastest Growing Religion’ (Harvest House Publishers, Eugene, 1992), baik berupa fotocopy buku asli yang bahasa Inggeris, maupun cetakan terjemahan Indonesianya. Rupanya banyak dana telah diinvestasikan dalam penyebaran buku itu karena dibagikan dengan cuma-cuma ke gereja-gereja. Bila isinya baik dan membangun, tentu usaha demikian sangat mulia, namun apakah isinya membangun?

Judul buku sudah mengungkapkan sikap yang membuka konfrontasi menghadapi agama Islam yang disebutnya sebagai berkembang paling pesat di dunia dan sedang menyerbu negara-negara yang secara tradisional disebut Kristen seperti di Inggeris, negara-negara Eropah, dan masakini di Amerika Serikat. Dan disadari atau tidak para penyebarnya di Indonesia juga ikut membuka konfrontasi dengan pihak Islam yang notabena merupakan kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.

Buku itu memberi kesan kuat adanya anggapan seakan-akan Barat = Kristen dan Arab = Islam, dan Islam = kultur Arab (h.20). Pemikiran stereotip fundamentalisme Amerika ini terlihat dari beberapa kesimpulan Morey bahwa ‘Arab sebagai keturunan Abraham melalui Ismael’ adalah sebuah mitos dan rasisme Arab (h.23); Islam = tradisi kekerasan (h.38); Allah adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab (h.48) atau tepatnya Moon God (h.50,51). Kemudian, Allah dibandingkan ‘the God of the Bible’ (h.57), dan disebutkan bahwa nama ‘Allah’ baru digunakan dalam Alkitab berbahasa Arab pada abad-9 setelah Alkitab selesai ditulis karena pada masa itu kekuatan Arab sudah mendominasi kawasan Timur Tengah sehingga para penerjemah Alkitab Arab tunduk pada tekanan politik & agama dan menggunakan nama ‘Allah’ dalam Alkitab Arab (h.64).

Morey sekalipun mengutip banyak sumber kurang menulis buku dengan argumen ilmiah tetapi menulisnya secara singkat/fragmentaris dan banyak komentar tentang Islam hanya diambil dari pembicaraan dengan para amatir seperti a.l. supir taxi dan pendengar ceramah/siaran TV-nya. Buku teologia Kristen & Islam yang berbeda dengan teorinya kurang dibahas.

Superioritas Barat atas Arab/Islam melekat dalam diri Morey sehingga dalam tulisannya ia mengagungkan kultur Barat dan melecehkan kultur Arab. Ia lupa bahwa Arab sudah lama maju dan menerjemahkan karya filsafat Yunani yang membuka mata Barat melalui interaksi Perang Salib dimana naskah itu dikenal kembali oleh Eropah, bahwa Barat menggunakan angka yang dikembangkan Arab, dan banyak juga orang berbahasa Arab yang beragama Kristen (yang jumlahnya sekitar 10 jutaan). Morey juga tidak membahas mengapa gereja Roma Katolik begitu sarat kultur Roma abad pertengahan (hadirnya kurban misa, relikwi, patung) yang membungkus ibadat Kristen.
Adanya masa kegelapan Eropah tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa ‘agama Kristen itu gelap’, demikian juga kultur masa jahiliah tentu tidak bisa dijadikan kesimpulan umum bahwa agama ‘Islam’ itu identik budaya jahiliah sekalipun ada pengaruhnya, padahal sumber Islam berbicara mengenai diimaninya kembali kepercayaan Hanif Ibrahim menggantikan masa jahiliah. Bahwa sejarah Islam memiliki kultur kekerasan, itu tidak membuktikan bahwa agama Islam itu agama kekerasan. Indonesia mayoritasnya beragama Islam karena kedatangan orang Sufi yang damai sehingga menarik banyak orang, ini berbeda dengan kedatangan misi Kristen seiring penjajah yang membawa senjata.

Sejarah kultur Barat bertradisi kristen tidak sepi kekerasan, perebutan jabatan ke’Uskup/Paus’an dan perang Salib diisi kekerasan dalam kultur Barat Kristen, demikian juga sejarah kontra Reformasi dengan inkwisisi dan perang hugenotnya menunjukkan bahwa kultur Barat Kristen bisa sadis juga. Kultur Barat Kristen tidak sepi kekerasan seperti para teroris yang secara tradisional beragama Kristen yang melakukan terorisme di Amerika Latin, IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, dan Karen di Birma. Perang Irak menunjukkan kenyataan dampak kultur Barat yang arogan dan mau menang sendiri. Adanya terorist di kalangan yang beragama Kristen tidak bisa dijadikan ukuran bahwa agama Kristen itu penuh kekerasan, demikian juga adanya teroris di kalangan yang beragama Islam tidak bisa dijadikan ukuran bahwa agama Islam itu penuh kekerasan.

Sentimen anti Arab/Islam yang tebal membuat Morey kehilangan obyektivitas dan menganggap ‘bangsa Arab’ bukan keturunan Abraham dan sekedar mitos dan rasisme Arab. Stereotip Morey menyebabkannya menutup mata terhadap buku teologi klasik yang menyebutkan, bahwa:

“orang Arab mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10: 24-29), Abraham dari Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16).... Keturunan Yoktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29).” (Interpreters Dictionary of the Bible, vol.I, h.182. Baca juga The New Bible Dictionary, h.54; Cyrill Glasse: Ensiklopedia Islam, h.49-50; dan Ensyclopaedia Britannica di bawah kata ‘Arabia.’).

Dari jalur keturunan ini kita mengerti bagaimana ‘Allah’ merupakan perkembangan dialek Arab untuk menyebut ‘Il/El Semitik’. Tulisan Morey bahwa nama ‘Allah’ adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab atau Moon God, didasarkan anggapan bahwa Arab adalah clan yang terisolir, dan mengabaikan bahwa kata ‘Arab’ sendiri berarti ‘nomad’ (pengelana) sehingga hubungan dengan negara tetangga sudah lama terjadi baik dengan Babel, Mesir, maupun Palestina yang lebih dekat, demikian juga diabaikan bahwa Arab itu punya akar sejarah yang adalah Abrahamik, Hebraic, dan Semitic dimana nama Sesembahan disebut ‘El/Elohim/Eloah’ dalam dialek Ibrani, ‘Elah/Alaha’ dalam dialek Aram Siria (Peshita), dan ‘Ilah/Allah’ dalam dialek Arab. Ini ditolak Morey demi menyudutkan masa jahiliah sebagai dasar agama Islam. Sejarah menunjukkan bahwa suku Ibrahimiyyah dan Ishmaliyyah yang pra-jahiliah masih memiliki orang ‘hanif’ yang mempercayai agama ‘monotheisme Ibrahim’ dan tidak terpengaruh penyembahan berhala masa jahiliah. Membesarkan pengaruh dewa Babel pada kultur Arab dan memutus hubungan dengan nenek moyangnya adalah tidak jujur.

Morey menyebut lambang ‘bulan sabit’ menunjuk pada ‘moon God’ (h.50,51) bahkan ini diperjelas dengan Apendiks yang khusus membahas ‘Moon God’ (h.218) dan menyebut bahwa bangsa Arab menyembah dewa bulan ini, sebagai buktinya ditunjukkan gambar bulan sabit diatas kubah mesjid. Tidak jelas apa kaitan inskripsi Babilonia tentang dewa bulan dengan ‘Allah’, karena dalam inskripsi itu dewa bulan itu tidak disebut ‘Allah’ dan kalau di Arab jahiliah dewa bulan disebut ‘Allah’ dewa-dewa lainnya juga disebut Allah juga (dewa pengairan, kesuburan, al-Uzza, al-Atta, dll), sebab sama denga nama ‘El’ yang bisa ditujukan kepada ‘El Shadday’ tetapi kata yang sama juga bisa ditujukan kepada berhala, demikian juga dengan nama ‘Allah.’

Sumber Islam menyebut bahwa Hubal (dewa bulan) dibawa dari Siria ke Arab pada masa jahiliah pra Islam, dan lambang bulan sabit baru muncul di Turki (bukan Arab) 800 tahun kemudian (abad-15) oleh penguasa Otoman yang mengadopsinya dari Byzantium, dimana disana bulan sabit merupakan lambang kemenangan karena kemunculannya yang tiba-tiba menyelamatkan Byzantium dari serangan musuh yang mendadak di malam gelap. Lambang ini kemudian digunakan pada bendera negara, diletakkan di atas kubah mesjid, dan dijadikan lambang ‘red crescent’ di Turki dan ditiru beberapa negara Islam lainnya. Bagi Islam, bulan sabit (hilal) adalah petunjuk ritme waktu. Muhammad mengatakan:

“Wahai bulan sabit yang indah dan bulan sabit petunjuk, keyakinanku teguh kepada Dia yang telah menciptakanmu.” (Glasse: Ensiklopedia Islam, h.64).

Sejarah Ibrani juga tidak lepas dari kemerosotan agama, Elohim bahkan Yahweh pernah diidentikkan sebagai ‘berhala anak lembu’ oleh Harun (Keluaran 32:1-5). Dari Mesir, Kanaan dan Mesopotamia kuno, banyak ditemukan inskripsi kultus anak lembu, tentu kemerosotan itu tidak perlu menghasilkan kesimpulan bahwa Yahweh berasal dari kultus ‘lembu’ Mesopotamia atau Mesir kuno. Yerobeam juga melakukan penyembahan anak lembu yang disebutnya ‘elohim’ (I Raja 12:28) bahkan keturunannya menempatkan dalam ‘Bait Allah,’ tempat nama ‘Yahweh’ berada, juga di Samaria, patung Baal dan Ayera (2Raj.13:6;21:7;23:4). Pada inskripsi kuno di ‘Kuntilet Ajrud,’ ditemui nama Yahweh dari Samaria yang dipuja bersama ‘dewi Asyera,’ tentu ini tidak juga bisa digunakan untuk menyebut Elohim/Yahweh identik dengan Baal dan Asyera.

Morey menyebut bahwa “Bila Allah Alquran = God of the Bible, maka konsep mengenai God harus sama setiap butirnya.” Ini mencampur-adukkan istilah Allah sebagai ‘nama oknum’ dan ‘ajaran mengenai Allah’ itu. Kalau dibandingkan Allah Al-Quran dan Allah Al-kitab bahasa Arab, kita melihat Allah yang sama (semitik, hebraik dan abrahamik) dibalik pengajaran/aqidah yang berbeda, karena yang satu didasarkan Al-Quran yang dianggap wahyu Allah oleh pengikutnya, sedang yang lain didasarkan Alkitab PL+PB yang dianggap wahyu Allah oleh pengikutnya juga. Allah Yahudi dan Kristen juga memiliki perbedaan yang mencolok. Ini tidak membuktikan bahwa ‘Allah PB’ tidak sama dengan ‘Allah PL.’

Anggapan bahwa kata ‘Allah’ dalam Alkitab Arab baru ditulis pada abad-9 karena tekanan Arab Islam menunjukkan bahwa Morey tidak mengerti sejarah. Sekalipun ada juga yang mengatakan bahwa kata ‘Alah’ dalam Tenakh diartikan ‘sumpah’ (2Taw.6:22), dalam Tenakh, kata yang sama (AlefLamedHe) disebut sebagai ‘Alah Israel’ dalam dialek Aram (Ezr.5:1;6:14). Peshitta (Alkitab bahasa Aram) yang dutulis pada abad-2-3, sudah memuat kata ‘Elah/Alah’ & ‘Elaha/Alaha.’ Di kalangan Kristen Arab masa pra-Islam, ada uskup Arab Harits bernama ‘Abd Allah’ (431), Inskripsi Zabad (512) diawali ‘Bism al-Ilah’ (Dengan nama Allah) lengkap dengan tanda salib diikuti nama-nama Kristen, demikian juga Inskripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad-6) menyebut ‘Allahu ghafran’ (Allah yang mengampuni). Inskripsi ‘Hurran al-Lajja’ (568) dan inskripsi lain pra’Islam’ dari lingkungan Kristen menggunakan nama Allah pula.

Muhammad sendiri mengakui dalam Al-Quran bahwa pada masanya nama ‘Allah’ dipakai bersama dengan orang Yahudi dan Kristen, ini menunjukkan bahwa jauh sebelum lahirnya agama Islam nama Allah sudah digunakan dalam agama Yahudi & Kristen yang dianut orang Arab:

"(Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.22:40. Lihat juga 2:136;12:106,108)

Morey beberapa kali mengutip Ensyclopaedia Britannica, mestinya ia juga mengutip:
“Allah. . . . The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.” (di bawah kata ‘Allah’).

Agama Samawi (wahyu: Yahudi, Kristen, Islam) dan Semitik menyembah oknum ‘El/Allah Abraham/Ibrahim’ yang sama (Idul Adha dan sunat adalah ritual Islam yang penting), namun ini tidak berarti bahwa ajaran/aqidah ketiganya sama. Agama Yahudi memiliki perbedaan dan menolak wahyu yang diterima Kristen (PB), Yahudi maupun Kristen menolak klaim Wahyu yang diterima Islam (Al-Quran), dan agama Islam sekalipun mengakui kitab-kitab Yahudi & Kristen (QS.2:136) tetapi tidak menerimanya karena dianggap telah dipalsukan.

Umat Kristen di Indonesia jangan sampai terjebak sentimen SARA yang ditaburkan Robert Morey dalam bukunya ‘The Islamic Invasion,’ demikian juga umat Kristen perlu berhati-hati dalam ikut menyebarluaskan buku yang ternyata bertendensi provokatip dan menjurus fitnah itu, sebab buku Morey banyak tidak didasarkan kebenaran melainkan sentimen Arab/Islam dan menaburkan bibit kebencian yang jelas dapat mengganggu hubungan antar pemeluk agama di Indonesia.

Akhirnya, misi Kristiani bukanlah untuk berkonfrontasi, melakukan adu-domba, dan melecehkan ‘nama Allah’ Islam dan pengajarannya (Yang menunjukkan kekurang-tahuan bahasawi dan sejarah), sebab ini bisa menjadi boomerang bagi Kristen Arab & Indonesia sendiri yang juga menggunakan nama itu. Secara lisan orang Arab beragama Yahudi/Kristen sudah menggunakan ‘nama Allah’ selama lebih dari 20 abad, dan sekarang ada empat versi Alkitab dalam bahasa Arab yang semuanya menggunakan nama Allah sejak pertama ditulis 13 abad yang lalu, dan selama 4 abad (sejak 1629) Alkitab Melayu/Indonesia juga menggunakan ‘nama Allah’ karena sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia.

Kesamaan sesembahan Islam dan Kristen bisa menjadi titik tolak yang baik untuk dialog, bukan untuk menyamakan keduanya, tetapi demi kehidupan bersama yang rukun di Indonesia, sekaligus kesempatan kesaksian mengenai keunikan ‘Allah Abraham/Ibrahim itu yang digenapi dalam Tuhan Yesus Kristus’ yang adalah Injil kabar baik itu. Inilah kesaksian yang tepat di dunia Islam.

Amin.


Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry http://www.yabina.org


Disalin dari : http://www.yabina.org/layout2.htm