Buku : THE ISLAMIC INVASION
Belakangan ini banyak pertanyaan diajukan mengenai beredarnya fotokopi buku Robert Morey:
‘THE ISLAMIC INVASION, Confronting the World’s Fastest Growing
Religion’ (Harvest House Publishers, Eugene, 1992). Pertanyaan juga
diajukan oleh saudara/i dari kalangan Islam, karena itu rasanya perlu
dibahas kembali di sini agar kita tidak diombang-ambingkan oleh buku
yang bisa memanaskan situasi.
Dari judul buku itu sudah bisa diraba bagaimana isi buku itu, yaitu
membuka konfrontasi menghadapi agama Islam yang disebutnya sebagai agama
yang berkembang paling pesat di dunia dan sedang menyerbu negara-negara
yang secara tradisional disebut Kristen seperti di Inggeris,
negara-negara Eropah, dan masakini di Amerika Serikat. (Sebenarnya di
Indonesia sebaliknyalah yang terjadi berbeda dengan negara-negara Barat
yang telah mengalami ‘post christian era’).
Buku itu memberi kesan kuat adanya anggapan seakan-akan Barat =
Kristen dan Arab = Islam, dan Islam = kultur Arab (h.20). Pemikiran yang
bersifat stereotip terlihat dari beberapa kesimpulan Morey, yaitu:
bahwa ‘Arab sebagai keturunan Abraham melalui Ismael’ adalah sebuah
mitos dan rasisme Arab (h.23); Islam = tradisi kekerasan (h.38); Allah
adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab (h.48) atau
tepatnya Moon God (h.50). Kemudian Allah dibandingkan dengan ‘the God of
the Bible’ (h.57), dan bahwa ‘Allah’ baru digunakan dalam Alkitab
berbahasa Arab pada abad-9 setelah Alkitab selesai ditulis karena pada
masa itu kekuatan Arab sudah mendominasi kawasan Timur Tengah sehingga
para penerjemah Alkitab Arab tunduk pada tekanan politik dan agama dan
menggunakan nama ‘Allah’ dalam Alkitab Arab (h.64).
Sayang sekali Morey sekalipun mengutip banyak sumber kurang menulis
buku itu dengan argumen ilmiah tetapi menulisnya secara
singkat/fragmentaris dan banyak komentar tentang Islam diambil dari
pembicaraan dengan para amatir seperti supir taxi, pendengar ceramah
atau siaran TV-nya. Buku teologia Kristen dan Arab yang berlawanan
dengan teorinya praktis tidak dibahas.
Superioritas Barat atas Arab/Islam melekat kuat dalam diri Morey
sehingga dalam tulisannya ia mengagungkan kultur Barat dan melecehkan
kultur Arab. Ia lupa bahwa Arab sudah lama maju dan menerjemahkan karya
filsafat Yunani yang membuka mata Barat melalui interaksi Perang Salib
dimana naskah itu dikenal kembali oleh Eropah, bahwa Barat menggunakan
angka yang dikembangkan orang Arab, dan banyak juga orang Arab yang
beragama Kristen. Sayang Morey juga tidak membahas mengapa gereja Roma
Katolik begitu sarat kultur Roma abad pertengahan (misalnya dengan
hadirnya kurban misa, relikwi, patung, saturnalia) yang membungkus
ibadat Kristen. Adanya masa kegelapan Eropah tentu tidak bisa dijadikan
kesimpulan umum bahwa ‘agama Kristen itu gelap’, demikian juga kultur
masa jahiliah tentu tidak bisa dijadikan kesimpulan umum bahwa agama
‘Islam’ itu identik dengan budaya jahiliah sekalipun ada pengaruhnya,
padahal sumber Islam sendiri berbicara mengenai diimaninya kembali
kepercayaan Hanif Abraham menggantikan dominasi jahiliah.
Bahwa dalam sejarahnya agama Islam memiliki kultur kekerasan, itu
tidak membuktikan bahwa agama Islam itu agama kekerasan, sebaliknya
walau Alkitab Kristen berbicara mengenai kasih (PB) itu tidak menjamin
bahwa kultur Kristen itu kasih. Indonesia menjadi mayoritas beragama
Islam karena datangnya orang-orang Sufi Islam yang datang dengan damai
sehingga menarik banyak orang, ini berbeda dengan kedatangan misi
Kristen yang seiring dengan kolonialisme yang membawa senjata. Sejarah
kultus Kristen tidak sepi kekerasan, sejak perebutan jabatan
keUskupan/kePausan sampai perang Salib kita mengenal kekerasan dalam
kultur Barat Kristen, demikian juga sejarah kontra Reformasi dengan
inkwisisi dan perang hugenotnya menunjukkan bahwa kultur Barat Kristen
bisa sadis juga. Kultur Barat Kristen tidak sepi kekerasan seperti para
radikal dan teroris beragama Kristen yang melakukan terorisme di Amerika
Latin, IRA di Irlandia, Basque di Spanyol, dan Karen di Birma. Perang
Irak sekarang menunjukkan fakta aktual kenyataan kultur kristen.
Sentimen anti Arab/Islam yang tebal membuat Morey kehilangan
obyektivitasnya dan menganggap bahwa ‘bangsa Arab’ itu bukan keturunan
Abraham dan sekedar mitos dan rasisme Arab. Sayang Morey menutup mata
terhadap buku teologi klasik yang menyebutkan, bahwa: “orang Arab
mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10:24-29), Abraham dari
Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16). . . . Keturunan
Yoktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29).”
(Interpreters Dictionary of the Bible, vol.I, h.182. Baca juga The New
Bible Dictionary, h.54; Cyrill Glasse: Ensiklopedia Islam, h.49-50; dan
Ensyclopaedia Britannica di bawah kata ‘Arabia.’). Dari jalur keturunan
ini kita mengerti bagaimana ‘Allah’ merupakan perkembangan dialek Arab
untuk menyebut ‘El Semitik’.
Tulisan Morey
bahwa Allah adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab atau
Moon God, didasarkan anggapan bahwa Arab adalah clan yang terisolir, dan
mengabaikan bahwa kata ‘Arab’ sendiri berarti ‘nomad’ (pengelana)
sehingga hubungan dengan negara tetangga sudah lama terjadi baik dengan
Babel, Mesir, maupun Palestina yang lebih dekat, demikian juga diabaikan
bahwa Arab itu punya akar sejarah yang adalah Abrahamik, Hebraic, dan
Semitic dimana nama Sesembahan yang pertama disebut El/Elohim dalam
dialek Ibrani, Alaha dalam dialek Aram Siria (Peshita) dan Allah dalam
dialek Arab. Ini ditolak demi menyudutkan masa jahiliah sebagai dasar
agama Islam. Suku Ibrahimiyyah dan Ishmaliyyah masih memiliki orang
‘hanif’ yang mempercayai agama ‘monotheisme Abraham’ dan tidak
terpengaruh penyembahan berhala masa jahiliah. Membesarkan pengaruh dewa
Babel pada kultur Arab tetapi memutus hubungan dengan nenek moyangnya
jelas tidak jujur.
Morey
menyebut lambang ‘bulan sabit’ menunjuk pada ‘moon God’ (h.51).
Faktanya Sumber Islam menyebut bahwa Hubal (dewa bulan) dibawa dari
Siria ke Arab pada zaman jahiliah, dan lambang bulan sabit baru muncul
di Turki (bukan Arab) 800 tahun kemudian oleh penguasa Otoman yang
mengadopsinya dari Byzantium. Di Byzantium bulan sabit merupakan lambang
kemenangan karena kemunculannya yang tiba-tiba menyelamatkan Byzantium
dari serangan mendadak musuh di malam gelap. Lambang ini kemudian
digunakan pada bendera negara, diletakkan di atas kubah mesjid, dan
dijadikan lambang ‘red crescent’ di Turki dan ditiru beberapa negara
Islam lainnya. Bagi Islam, bulan sabit (hilal) adalah petunjuk ritme
waktu. Muhammad mengatakan: “Wahai bulan sabit yang indah dan bulan
sabit petunjuk, keyakinanku teguh kepada Dia yang telah menciptakanmu.”
(Glasse: Ensiklopedia Islam, h.64).
Sejarah Ibrani sendiri tidak lepas dari kemerosotan agama, Elohim
bahkan Yahweh pernah diidentikkan sebagai ‘anak lembu emas’ oleh Harun
(Keluaran 32:1-5) dan dipopulerkan kembali oleh Yerobeam (I Raja 12:28).
Tentu kemerosotan ini tidak perlu menghasilkan kesimpulan bahwa Yahweh
berasal dari kultus ‘lembu’ Babel atau Mesir kuno. Kalau mau
diperpanjang ceritanya, ada juga teori diajukan orang bahwa El bahkan
Yahweh memiliki asal dewa kafir kuno Mesopotamia. Ingat kultur Ibrani
baru berkembang seribu tahun sesudah kultur Babel dan Mesir berkembang.
Morey
menyebut bahwa “Bila Allah Alquran = God of the Bible, maka konsep
mengenai God harus sama setiap butirnya.” Ini menunjukkan
pencampur-adukkan istilah Allah sebagai ‘nama oknum’ dan ‘pengajaran
mengenai Allah’ itu. Kalau Allah Al-Quran dibandingkan dengan God
Alkitab Inggeris tentu beda aqidahnya, tetapi kita harus membandingkan
Allah Al-Quran dan Allah Al-kitab bahasa Arab, disitu kita akan melihat
Allah yang sama (semitik, hebraik dan abrahamik) dibalik
doktrin/pengajaran/aqidah yang berbeda, demikian juga Allah PL dan PB
dapat juga dibandingkan yang jelas menunjukkan perbedaan yang mencolok.
Ini tentu tidak otomatis membuktikan bahwa ‘Allah PB’ tidak sama dengan
‘Allah PL’ bukan?
Pandangan yang menyebut bahwa kata ‘Allah’ dalam Alkitab Arab baru
ditulis pada abad-9 karena tekanan Arab Islam tidaklah akurat, karena
sebelum masa jahiliah, orang Kristen & Yahudi Arab, dan Arab Hanif
sudah menggunakan istilah ‘Allah’ (El di Timur Tengah disebut dalam
berbagai dialek sebagai Il, Ilu, Ilum, Ila, Ilah, Alaha, El, Elah, dll.)
dan juga ditulis dalam inskripsi, dan di Al-Quran sendiri diakui bahwa
Orang Yahudi & Kristen sama halnya orang Islam juga menyebut nama
‘Allah’ yang sama (QS.2:136;12:106,108). Al-Quran ditulis pada abad
ke-7.
Morey beberapa kali mengutip Ensyclopaedia Britannica, mestinya ia juga mengutip: “Allah.
. . . The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic
writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old
Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for
“God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.” (di bawah kata ‘Allah’).
Perlu disadari bahwa ketiga agama Samawi (Semitik: Yahudi, Kristen,
Islam) menyembah oknum sesembahan ‘El/Allah Abraham’ (Idul Adha adalah
salah satu ritual Islam yang penting), namun ini tidak berarti bahwa
konsep/ajaran/aqidah ketiganya mengenai ‘El/Allah’ itu sama. Agama
Yahudi memiliki konsep mengenai ‘El/Allah’ itu berdasarkan wahyu &
perjanjian yang mereka terima melalui Abraham, Ishak, & Yakub yang
tercakup dalam Alkitab Perjanjian Lama. Kristen memiliki konsep mengenai
‘El/Allah’ sesuai keyakinan Yahudi, dan juga penggenapannya dalam Tuhan
Yesus Kristus yang tercakup dalam Alkitab Perjanjian Baru (Yahudi
menolak PB), sedangkan agama Islam mempercayai wahyu sampai perjanjian
kepada Abraham ditambah tradisi melalui Ismael dan wahyu kepada Muhammad
yang tercakup dalam Alquran. Baik agama Yahudi maupun Kristen menolak
klaim Wahyu ini.
Umat Kristen di Indonesia jangan sampai terjebak sentimen rasisme yang ditaburkan oleh Robert Morey,
seorang fundamentalis kristen Amerika, dalam bukunya ‘The Islamic
Invasions,’ tetapi justru kesamaan nama sesembahan Islam dan Kristen
bisa menjadi titik tolak yang baik untuk dialog, bukan untuk menyamakan
keduanya, tetapi demi kehidupan bersama yang rukun di Indonesia,
sekaligus kesempatan kesaksian mengenai keunikan ‘Allah Abraham itu yang
digenapi dalam Tuhan Yesus Kristus’ menurut keyakinan Kristiani.
Akhirnya, misi Kristiani bukanlah untuk melecehkan ‘nama Allah’
Islam dan pengajarannya (Yang menunjukkan kekurang-tahuan bahasawi, dan
bisa menjadi boomerang bagi Kristen Arab & Indonesia. Sekarang ada
empat versi Alkitab dalam bahasa Arab dan semuanya menggunakan nama
Allah untuk menyebut El PL dan Theos PB, dan selama 4 abad Alkitab
Indonesia juga menggunakan istilah yang sama karena sudah menjadi
kosakata Indonesia), tetapi bagaimana kita mengabarkan ‘El/Allah yang
sama’ itu yang menyatakan diri dalam Tuhan Yesus Kristus sesuai dengan
perjanjian yang diturunkan melalui Abraham, Ishak, Yakub dan yang
digenapi dalam Yesus, seperti yang diajarkan dalam Alkitab Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Itulah kesaksian Kristiani yang tepat di dunia
Islam.
Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry http://www.yabina.org
Disalin dari : http://www.yabina.org/layout2.htm
------------------------
THE ISLAMIC INVASION
Tanggal 6 Maret 2005, PGI Setempat Kota Batu mengundang YABINA untuk
memberikan ceramah pembinaan iman untuk gereja-gereja di kota Batu
dengan tema ‘Nama Allah.’ Ternyata di kota Batu telah beredar buku
karangan Robert Morey: ‘THE ISLAMIC INVASION, Confronting the World’s Fastest Growing Religion’ (Harvest
House Publishers, Eugene, 1992), baik berupa fotocopy buku asli yang
bahasa Inggeris, maupun cetakan terjemahan Indonesianya. Rupanya banyak
dana telah diinvestasikan dalam penyebaran buku itu karena dibagikan
dengan cuma-cuma ke gereja-gereja. Bila isinya baik dan membangun, tentu
usaha demikian sangat mulia, namun apakah isinya membangun?
Judul buku sudah mengungkapkan sikap yang membuka konfrontasi
menghadapi agama Islam yang disebutnya sebagai berkembang paling pesat
di dunia dan sedang menyerbu negara-negara yang secara tradisional
disebut Kristen seperti di Inggeris, negara-negara Eropah, dan masakini
di Amerika Serikat. Dan disadari atau tidak para penyebarnya di
Indonesia juga ikut membuka konfrontasi dengan pihak Islam yang notabena
merupakan kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
Buku itu memberi kesan kuat adanya anggapan seakan-akan Barat =
Kristen dan Arab = Islam, dan Islam = kultur Arab (h.20). Pemikiran
stereotip fundamentalisme Amerika ini terlihat dari beberapa kesimpulan Morey
bahwa ‘Arab sebagai keturunan Abraham melalui Ismael’ adalah sebuah
mitos dan rasisme Arab (h.23); Islam = tradisi kekerasan (h.38); Allah
adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab (h.48) atau
tepatnya Moon God (h.50,51). Kemudian, Allah dibandingkan ‘the God of
the Bible’ (h.57), dan disebutkan bahwa nama ‘Allah’ baru digunakan
dalam Alkitab berbahasa Arab pada abad-9 setelah Alkitab selesai ditulis
karena pada masa itu kekuatan Arab sudah mendominasi kawasan Timur
Tengah sehingga para penerjemah Alkitab Arab tunduk pada tekanan politik
& agama dan menggunakan nama ‘Allah’ dalam Alkitab Arab (h.64).
Morey
sekalipun mengutip banyak sumber kurang menulis buku dengan argumen
ilmiah tetapi menulisnya secara singkat/fragmentaris dan banyak komentar
tentang Islam hanya diambil dari pembicaraan dengan para amatir seperti
a.l. supir taxi dan pendengar ceramah/siaran TV-nya. Buku teologia
Kristen & Islam yang berbeda dengan teorinya kurang dibahas.
Superioritas Barat atas Arab/Islam melekat dalam diri Morey
sehingga dalam tulisannya ia mengagungkan kultur Barat dan melecehkan
kultur Arab. Ia lupa bahwa Arab sudah lama maju dan menerjemahkan karya
filsafat Yunani yang membuka mata Barat melalui interaksi Perang Salib
dimana naskah itu dikenal kembali oleh Eropah, bahwa Barat menggunakan
angka yang dikembangkan Arab, dan banyak juga orang berbahasa Arab yang
beragama Kristen (yang jumlahnya sekitar 10 jutaan). Morey
juga tidak membahas mengapa gereja Roma Katolik begitu sarat kultur
Roma abad pertengahan (hadirnya kurban misa, relikwi, patung) yang
membungkus ibadat Kristen.
Adanya masa kegelapan Eropah tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa
‘agama Kristen itu gelap’, demikian juga kultur masa jahiliah tentu
tidak bisa dijadikan kesimpulan umum bahwa agama ‘Islam’ itu identik
budaya jahiliah sekalipun ada pengaruhnya, padahal sumber Islam
berbicara mengenai diimaninya kembali kepercayaan Hanif Ibrahim
menggantikan masa jahiliah. Bahwa sejarah Islam memiliki kultur
kekerasan, itu tidak membuktikan bahwa agama Islam itu agama kekerasan.
Indonesia mayoritasnya beragama Islam karena kedatangan orang Sufi yang
damai sehingga menarik banyak orang, ini berbeda dengan kedatangan misi
Kristen seiring penjajah yang membawa senjata.
Sejarah kultur Barat bertradisi kristen tidak sepi kekerasan,
perebutan jabatan ke’Uskup/Paus’an dan perang Salib diisi kekerasan
dalam kultur Barat Kristen, demikian juga sejarah kontra Reformasi
dengan inkwisisi dan perang hugenotnya menunjukkan bahwa kultur Barat
Kristen bisa sadis juga. Kultur Barat Kristen tidak sepi kekerasan
seperti para teroris yang secara tradisional beragama Kristen yang
melakukan terorisme di Amerika Latin, IRA di Irlandia, Basque di
Spanyol, dan Karen di Birma. Perang Irak menunjukkan kenyataan dampak
kultur Barat yang arogan dan mau menang sendiri. Adanya terorist di
kalangan yang beragama Kristen tidak bisa dijadikan ukuran bahwa agama
Kristen itu penuh kekerasan, demikian juga adanya teroris di kalangan
yang beragama Islam tidak bisa dijadikan ukuran bahwa agama Islam itu
penuh kekerasan.
Sentimen anti Arab/Islam yang tebal membuat Morey
kehilangan obyektivitas dan menganggap ‘bangsa Arab’ bukan keturunan
Abraham dan sekedar mitos dan rasisme Arab. Stereotip Morey
menyebabkannya menutup mata terhadap buku teologi klasik yang
menyebutkan, bahwa:
“orang Arab mencakup keturunan Aram
(Kej.10:22), Eber (Kej.10: 24-29), Abraham dari Keturah (Kej.25:1-4) dan
dari Hagar (Kej.25:13-16).... Keturunan Yoktan (anak Eber) mencakup
beberapa suku Arab (Kej.10:26-29).” (Interpreters Dictionary of
the Bible, vol.I, h.182. Baca juga The New Bible Dictionary, h.54;
Cyrill Glasse: Ensiklopedia Islam, h.49-50; dan Ensyclopaedia Britannica
di bawah kata ‘Arabia.’).
Dari jalur keturunan ini kita mengerti bagaimana ‘Allah’ merupakan
perkembangan dialek Arab untuk menyebut ‘Il/El Semitik’. Tulisan Morey
bahwa nama ‘Allah’ adalah murni istilah Arab berkaitan dengan dewa Arab
atau Moon God, didasarkan anggapan bahwa Arab adalah clan yang
terisolir, dan mengabaikan bahwa kata ‘Arab’ sendiri berarti ‘nomad’
(pengelana) sehingga hubungan dengan negara tetangga sudah lama terjadi
baik dengan Babel, Mesir, maupun Palestina yang lebih dekat, demikian
juga diabaikan bahwa Arab itu punya akar sejarah yang adalah Abrahamik,
Hebraic, dan Semitic dimana nama Sesembahan disebut ‘El/Elohim/Eloah’
dalam dialek Ibrani, ‘Elah/Alaha’ dalam dialek Aram Siria (Peshita), dan
‘Ilah/Allah’ dalam dialek Arab. Ini ditolak Morey demi menyudutkan masa
jahiliah sebagai dasar agama Islam. Sejarah menunjukkan bahwa suku
Ibrahimiyyah dan Ishmaliyyah yang pra-jahiliah masih memiliki orang
‘hanif’ yang mempercayai agama ‘monotheisme Ibrahim’ dan tidak
terpengaruh penyembahan berhala masa jahiliah. Membesarkan pengaruh dewa
Babel pada kultur Arab dan memutus hubungan dengan nenek moyangnya
adalah tidak jujur.
Morey menyebut lambang ‘bulan sabit’
menunjuk pada ‘moon God’ (h.50,51) bahkan ini diperjelas dengan
Apendiks yang khusus membahas ‘Moon God’ (h.218) dan menyebut bahwa
bangsa Arab menyembah dewa bulan ini, sebagai buktinya ditunjukkan
gambar bulan sabit diatas kubah mesjid. Tidak jelas apa kaitan inskripsi
Babilonia tentang dewa bulan dengan ‘Allah’, karena dalam inskripsi itu
dewa bulan itu tidak disebut ‘Allah’ dan kalau di Arab jahiliah dewa
bulan disebut ‘Allah’ dewa-dewa lainnya juga disebut Allah juga (dewa
pengairan, kesuburan, al-Uzza, al-Atta, dll), sebab sama denga nama ‘El’
yang bisa ditujukan kepada ‘El Shadday’ tetapi kata yang sama juga bisa
ditujukan kepada berhala, demikian juga dengan nama ‘Allah.’
Sumber Islam menyebut bahwa Hubal
(dewa bulan) dibawa dari Siria ke Arab pada masa jahiliah pra Islam,
dan lambang bulan sabit baru muncul di Turki (bukan Arab) 800 tahun
kemudian (abad-15) oleh penguasa Otoman yang mengadopsinya dari
Byzantium, dimana disana bulan sabit merupakan lambang kemenangan karena
kemunculannya yang tiba-tiba menyelamatkan Byzantium dari serangan
musuh yang mendadak di malam gelap. Lambang ini kemudian digunakan pada
bendera negara, diletakkan di atas kubah mesjid, dan dijadikan lambang
‘red crescent’ di Turki dan ditiru beberapa negara Islam lainnya. Bagi
Islam, bulan sabit (hilal) adalah petunjuk ritme waktu. Muhammad
mengatakan:
“Wahai bulan sabit yang indah dan bulan sabit petunjuk, keyakinanku teguh kepada Dia yang telah menciptakanmu.” (Glasse: Ensiklopedia Islam, h.64).
Sejarah Ibrani juga tidak lepas dari kemerosotan agama, Elohim
bahkan Yahweh pernah diidentikkan sebagai ‘berhala anak lembu’ oleh
Harun (Keluaran 32:1-5). Dari Mesir, Kanaan dan Mesopotamia kuno, banyak
ditemukan inskripsi kultus anak lembu, tentu kemerosotan itu tidak
perlu menghasilkan kesimpulan bahwa Yahweh berasal dari kultus ‘lembu’
Mesopotamia atau Mesir kuno. Yerobeam juga melakukan penyembahan anak
lembu yang disebutnya ‘elohim’ (I Raja 12:28) bahkan keturunannya
menempatkan dalam ‘Bait Allah,’ tempat nama ‘Yahweh’ berada, juga di
Samaria, patung Baal dan Ayera (2Raj.13:6;21:7;23:4). Pada inskripsi
kuno di ‘Kuntilet Ajrud,’ ditemui nama Yahweh dari Samaria yang dipuja
bersama ‘dewi Asyera,’ tentu ini tidak juga bisa digunakan untuk
menyebut Elohim/Yahweh identik dengan Baal dan Asyera.
Morey
menyebut bahwa “Bila Allah Alquran = God of the Bible, maka konsep
mengenai God harus sama setiap butirnya.” Ini mencampur-adukkan istilah
Allah sebagai ‘nama oknum’ dan ‘ajaran mengenai Allah’ itu. Kalau
dibandingkan Allah Al-Quran dan Allah Al-kitab bahasa Arab, kita melihat
Allah yang sama (semitik, hebraik dan abrahamik) dibalik
pengajaran/aqidah yang berbeda, karena yang satu didasarkan Al-Quran
yang dianggap wahyu Allah oleh pengikutnya, sedang yang lain didasarkan
Alkitab PL+PB yang dianggap wahyu Allah oleh pengikutnya juga. Allah
Yahudi dan Kristen juga memiliki perbedaan yang mencolok. Ini tidak
membuktikan bahwa ‘Allah PB’ tidak sama dengan ‘Allah PL.’
Anggapan bahwa kata ‘Allah’ dalam Alkitab Arab baru ditulis pada
abad-9 karena tekanan Arab Islam menunjukkan bahwa Morey tidak mengerti
sejarah. Sekalipun ada juga yang mengatakan bahwa kata ‘Alah’ dalam
Tenakh diartikan ‘sumpah’ (2Taw.6:22), dalam Tenakh, kata yang sama
(AlefLamedHe) disebut sebagai ‘Alah Israel’ dalam dialek Aram
(Ezr.5:1;6:14). Peshitta (Alkitab bahasa Aram) yang dutulis pada
abad-2-3, sudah memuat kata ‘Elah/Alah’ & ‘Elaha/Alaha.’ Di kalangan
Kristen Arab masa pra-Islam, ada uskup Arab Harits bernama ‘Abd Allah’
(431), Inskripsi Zabad (512) diawali ‘Bism al-Ilah’ (Dengan nama Allah)
lengkap dengan tanda salib diikuti nama-nama Kristen, demikian juga
Inskripsi ‘Umm al-Jimmal’ (abad-6) menyebut ‘Allahu ghafran’
(Allah yang mengampuni). Inskripsi ‘Hurran al-Lajja’ (568) dan
inskripsi lain pra’Islam’ dari lingkungan Kristen menggunakan nama Allah pula.
Muhammad sendiri mengakui dalam Al-Quran bahwa pada masanya nama
‘Allah’ dipakai bersama dengan orang Yahudi dan Kristen, ini menunjukkan
bahwa jauh sebelum lahirnya agama Islam nama Allah sudah digunakan
dalam agama Yahudi & Kristen yang dianut orang Arab:
"(Yaitu) orang2 yang diusir dari
negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan
kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah terhadap manusia, sebagian
mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2
Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama
Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang menolong (agama)Nya.
Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa." (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.22:40. Lihat juga 2:136;12:106,108)
Morey beberapa kali mengutip Ensyclopaedia Britannica, mestinya ia juga mengutip:
“Allah. . . . The name’s origin can be
traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god
was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh.
Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab
Christians as well as by Muslims.” (di bawah kata ‘Allah’).
Agama Samawi (wahyu: Yahudi, Kristen, Islam) dan Semitik menyembah
oknum ‘El/Allah Abraham/Ibrahim’ yang sama (Idul Adha dan sunat adalah
ritual Islam yang penting), namun ini tidak berarti bahwa ajaran/aqidah
ketiganya sama. Agama Yahudi memiliki perbedaan dan menolak wahyu yang
diterima Kristen (PB), Yahudi maupun Kristen menolak klaim Wahyu yang
diterima Islam (Al-Quran), dan agama Islam sekalipun mengakui
kitab-kitab Yahudi & Kristen (QS.2:136) tetapi tidak menerimanya
karena dianggap telah dipalsukan.
Umat Kristen di Indonesia jangan sampai terjebak sentimen SARA yang ditaburkan Robert Morey
dalam bukunya ‘The Islamic Invasion,’ demikian juga umat Kristen perlu
berhati-hati dalam ikut menyebarluaskan buku yang ternyata bertendensi
provokatip dan menjurus fitnah itu, sebab buku Morey banyak tidak
didasarkan kebenaran melainkan sentimen Arab/Islam dan menaburkan bibit
kebencian yang jelas dapat mengganggu hubungan antar pemeluk agama di
Indonesia.
Akhirnya, misi Kristiani bukanlah untuk berkonfrontasi, melakukan
adu-domba, dan melecehkan ‘nama Allah’ Islam dan pengajarannya (Yang
menunjukkan kekurang-tahuan bahasawi dan sejarah), sebab ini bisa
menjadi boomerang bagi Kristen Arab & Indonesia sendiri yang juga
menggunakan nama itu. Secara lisan orang Arab beragama Yahudi/Kristen
sudah menggunakan ‘nama Allah’ selama lebih dari 20 abad, dan sekarang
ada empat versi Alkitab dalam bahasa Arab yang semuanya menggunakan nama
Allah sejak pertama ditulis 13 abad yang lalu, dan selama 4 abad (sejak
1629) Alkitab Melayu/Indonesia juga menggunakan ‘nama Allah’ karena
sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia.
Kesamaan sesembahan Islam dan Kristen bisa menjadi titik tolak yang
baik untuk dialog, bukan untuk menyamakan keduanya, tetapi demi
kehidupan bersama yang rukun di Indonesia, sekaligus kesempatan
kesaksian mengenai keunikan ‘Allah Abraham/Ibrahim itu yang digenapi
dalam Tuhan Yesus Kristus’ yang adalah Injil kabar baik itu. Inilah
kesaksian yang tepat di dunia Islam.
Amin.
Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry http://www.yabina.org
Disalin dari : http://www.yabina.org/layout2.htm